Jumat, 16 Maret 2012

Apa itu REDD?


REDD, atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Pengurangan emsisi dari deforestasi dan degradasi hutan) : Sebuah mekanisme untuk mengurangi emisi GRK dengan cara memberikan kompensasi kepada pihak pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan.
Bagaimana cara kerja REDD?
Pengurangan emisi atau deforestasi yang dihindari diperhitungkan sebagai kredit. Jumlah kredit karbon yang diperoleh dalam waktu tertentu dapat dijual di pasar karbon. Sebagai alternatif, kredit yang diperoleh dapat diserahkan ke lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara negara peserta yang melakukan konservasi hutannya. Skema REDD memperbolehkan konservasi hutan untuk berkompetisi secara ekonomis dengan berbagai kegiatan ekonomi lainnya yang memicu deforestasi. Pemicu tersebut saat ini menyebabkan terjadinya pembalakan yang merusak dan konversi hutan untuk penggunaan lainnya, seperti padang penggembalaan ternak, lahan pertanian, dan perkebunan.

Adakah tantangan yang akan dihadapi skema REDD?
Ada empat tantangan yang dapat diidentifikasi :
• Teknologi penghitungan karbon
Untuk memberikan nilai bagi sebidang lahan berhutan yang berpotensi menyimpan karbon, kita harus dapat menghitung secara tepat berapa banyak jumlah karbon yang tersimpan. Teknologi baru seperti citra satelit dan pembuatan model computer akan memudahkan penghitungan cadangan karbon secara tepat dan cepat. Sistem yang transparan untuk melakukan penghitungan dan verifikasi pengurangan emisi saat ini sudah banyak tersedia. Pertanyaannya, terjangkau dan ekonomiskan teknologi ini?
• Pembayaran
Bagaimana cara suatu negara dapat memperoleh pembayaran dan dalam bentuk apa pembayaran itu diberikan? Siapa yang nantinya akan menerima pembayaran untuk upaya melindungi kawasan hutan tertentu : Pemerintah nasional, masyarakat lokal sekitar hutan atau perusahaan kayu? Negara donor menghendaki agar pembayaran dapat bermanfaat bagi masyarakat yang kurang mampu
• Akuntabilitas
Jika pembayaran REDD dilakukan, namun hutan tetap saja dirusak, apa yang akan terjadi? Akuntabilitas terkait dengan jaminan bahwa pembayaran karbon dapat mewujudkan perlindungan hutan berkelanjutan.
• Pendanaan
Kita dihadapkan pada beberapa pilihan. Apakah sebaiknya negara maju menyediakan dana untuk memberikan penghargaan bagi negara-negara yang dapat mengurangi emisinya dari deforestasi? Atau apakah sebaiknya pengurangan emisi ini dikaitkan dengan sistem perdagangan karbon yang berbasis pasar? Kita perlu mencari sistem pasar yang paling sesuai. Peneliti dan para pembuat kebijakan mulai menyadari bahwa skema REDD tidak akan menjadi solusi yang cocok untuk semua keadaan di setiap negara. Cara terbaik yang mungkin dilakukan dalam merancang dan menerapkan REDD secara global adalah memberikan kesempatan bagi negara-negara peserta untuk melakukannya secara paralel dengan berbagai model yang berbeda. Dengan cara ini, diharapkan akan muncul berbagai skema baru sehingga tiap negara dapat memilih model yang paling cocok dan dapat diadopsi untuk situasi dan kondisi mereka masing-masing.
Bagaimana dengan hak dan pendapat penduduk asli yang hidup dan mata pencahariannya bergantung pada hutan?
Penduduk asli dan masyarakat tradisional memainkan peran penting dalam proses ini. Diperlukan upaya yang lebih banyak lagi untuk menjamin bahwa lahan dan hak mereka terhadap sumberdaya diakui. Pejabat pemerintah, perusahaan swasta atau elite lokal dapat tergoda untuk mengambil alih pembayaran jasa karbon melalui system penilaian hutan yang baru ini dari masyarakat lokal apabila hak kepemilikan lahan masyarakat asli tidak dijamin. Perancang REDD harus sepenuhnya memperhatikan hak masyarakat di dalam dan di sekitar hutan yang sah sebelum mengambil tindakan untuk mengurangi emisi karbon berbasis hutan. Imbal balik antara pengurangan emisi karbon dan pengentasan kemiskinan mungkin diperlukan. Hak masyarakat lokal untuk memanfaatkan hutan harus diseimbangkan dengan tujuan masyarakat internasional dalam mengatasi perubahan iklim.
Apa yang menjadikan REDD masuk dalam agenda global?
Konferensi Para Pihak Konvensi Perubahan Iklim ke-13 (COP 13) di Bali pada tahun 2007 menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan), sebuah rencana atau peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim dan besarnya potensi yang terkandung dalam REDD. Inisiatif REDD dalam mitigasi perubahan iklim dapat memberikan berbagai macam manfaat dan keuntungan lain yang menyertainya. Termasuk di dalamnya adalah manfaat untuk memberikan perlindungan bagi jasa lingkungan yang disediakan oleh hutan, meningkatkan penghidupan masyarakat sekitar hutan dan memperjelas hak kepemilikan lahan. Perjanjian Kopenhagen secara terbuka menyebutkan REDD-plus sebagai bagian dari portofolio mitigasi iklim untuk diimplementasikan di bawah perjanjian pasca Kyoto.
Apakah hasil dari negosiasi UNFCCC di Kopenhagen?
Hasilnya untuk REDD masih belum lengkap. Meskipun beberapa kemajuan sudah dibuat, namun kelemahan-kelemahan penting masih terjadi terutama mengenai kesesuaian target. Perjanjian Kopenhagen telah meneguhkan sebuah tonggak. Inilah perjanjian internasional pertama yang merekomendasikan bahwa sumber pendanaan perlu dikumpulkan untuk mendukung REDD-plus. Australia, Perancis, Jepang, Norwegia, Inggris dan Amerika Serikat telah menawarkan paket bantuan sebesar 3,5 triliun USD untuk persiapan REDD. Perjanjian tersebut juga menerangkan beberapa poin teknis yang dapat menyediakan dukungan yang dibutuhkan oleh negara-negara yang berminat untuk bergabung segera. Namun demikian, masih ada beberapa isu yang belum tuntas, termasuk referensi terhadap emisi dan usaha-usaha di tingkat subnasional. Ini merupakan isu penting bagi negara-negara yang memiliki hutan yang luas dengan tipe yang beragam yang mengalami tekanan yang berbeda-beda—seperti Indonesia dan Brazil. Isu-isu ini juga penting bagi negara-negara yang sedang mengalami pemberontakan/kekacauan dimana pemerintah tidak selalu memiliki kendali penuh atas semua lahan di negaranya. Isu lain yang juga perlu diatasi misalnya perlindungan hak-hak penduduk asli dan masyarakat lokal. Salah satu titik kelemahan terbesar adalah minimnya target, baik itu untuk pengurangan emisi maupun untuk sumber pendanaan. Kelemahan dari perjanjian ini dapat mengaburkan apa yang ingin dicapai dari kerja sama antara negara berkembang dan negara maju dalam kaitannya dengan REDD.
Sebagian orang membicarakan tentang REDD-plus. Apakah itu?
Satu tahun setelah Rencana Aksi Bali disetujui, para juru runding mengadakan pertemuan kembali di PoznaƄ, Polandia. Mereka mencapai konsensus umum bahwa kegiatan REDD sebaiknya diperluas. REDD-plus menambahkan tiga areal strategis terhadap dua hal yang telah ditetapkan sebelumnya di Bali. Kelima hal tersebut bertujuan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara negara berkembang. Dua ketetapan awal REDD adalah:
• mengurangi emisi dari deforestasi dan
• mengurangi emisi dari degradasi hutan
Beberapa strategi yang ditambahkan untuk mengurangi emisi melalui:
• peranan konservasi
• pengelolaan hutan secara lestari
• peningkatan cadangan karbon hutan
Definisi yang lebih luas ini memudahkan negara-negara lain untuk ikut berpartisipasi Banyak pihak dengan kondisi nasional yang berbeda dapat dilibatkan ke dalam kerangka yang akan datang.
Siapa yang memperoleh keuntungan dari REDD-plus?
Ketika REDD pertama kali dicanangkan di COP 13 pada tahun 2007, ide tersebut sangat diminati oleh negara-negara dengan laju deforestasi yang tinggi. Negara-negara tersebut memiliki potensi terbesar untuk secara signifikan mengurangi emisi dari hilangnya hutan dan untuk memperoleh keuntungan terbesar jika mereka dapat melakukannya.
Di bawah skema REDD-plus yang lebih luas, negara-negara yang secara efektif sudah melindungi hutannya juga dapat memperoleh keuntungan. Praktek yang diterapkan secara berkelanjutan yang dapat membantu masyarakat miskin. Contohnya perusahaan kayu yang memberikan akses kepada masyarakat lokal untuk dapat memanfaatkan hutan, juga akan diakui dan diberi penghargaan. Inisiatif penghijauan di kawasan hutan yang gundul dan terdegradasi juga akan dipertimbangkan. Jika REDD-plus dibawa ke meja perundingan, akan lebih banyak negara yang mendukung atau meratifikasi kesepakatan di masa yang akan datang. Bagaimanapun juga, REDD-plus memerlukan kerangka kerja yang lebih rumit untuk mengakomodasikan seluruh kategori dan dapat menyebabkan terjadinya biaya transaksi dan implementasi yang lebih besar.
Siapa yang mencoba untuk mengatasi tantangan teknis REDD-plus dan bagaimana caranya?
Dua inisiatif global sedang dilakukan untuk membantu negara-negara berkembang mengimplementasikan mekanisme REDD-plus di masa yang akan datang:

1.       Program REDD PBB (UN-REDD), menawarkan dukungan secara ekstensif bagi negara berkembang untuk menghadapi isu deforestasi dan degradasi hutan. Program tersebut menawarkan pembangunan kapasitas, membantu merancang strategi nasional dan menguji pendekatan nasional serta perencanaan kelembagaan untuk mengawasi dan melakukan verifikasi pengurangan hilangnya hutan. UN-REDD beroperasi di sembilan negara: Bolivia, Republik Demokratik Kongo, Indonesia, Panama, Papua Nugini, Paraguay, Tanzania, Vietnam dan Zambia. Proyek percontohan sudah dimulai di beberapa kawasan hutan tropis dan akan dilakukan kajian secara khusus bagaimana praktek REDD akan berhasil dalam penerapannya.
2.       Bank Dunia mengkoordinasikan inisiatif berupa Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (Forest Carbon Partnership Facility, FCPF). Serupa dengan UN-REDD, namun dalam skala dan partisipasi yang lebih besar. Program ini direncanakan beroperasi di 37 negara: Argentina, Bolivia, Chili, Costa Rica, Ekuatorial Guinea, El Salvador, Etiopia, Gabon, Ghana, Guatemala, Guyana, Honduras, Indonesia, Kamboja, Kamerun, Kenya, Kolombia, Liberia, Madagaskar, Meksiko, Mozambik, Nepal, Nikaragua, Panama, Papua Nugini, Paraguay, Peru, Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Republik Kongo, Republik Demokratik Laos, Suriname, Tanzania, Thailand, Uganda, Vanuatu dan Vietnam.
Kedua inisiatif akan mengkoordinasikan misinya ketika diterapkan di negara yang sama dan melaksanakan pertemuan mengenai kebijakan-kebijakan mereka secara bersama-sama agar para peserta dapat saling bertukar informasi. Kedua inisiatif juga memiliki beberapa aktivitas percontohan REDD yang sedang berjalan di berbagai negara dalam rangka memberikan pemahaman tentang implementasi REDD dan menguji bagaimana REDD dapat dilaksanakan dengan menggunakan berbagai pendekatan. Kemajuan dan hasil dari inisiatif tersebut akan membantu para juru runding UNFCC dalam menentukan apakah emisi CO2 yang berkaitan dengan hutan dapat dihitung dan apakah mekanisme REDD yang diusulkan dapat dilaksanakan.
Berapakah biaya REDD-plus?
Menurut Stern Review on the Economics of Climate Change, dana yang dibutuhkan untuk memotong hingga setengah emisi dari sektor hutan sampai dengan tahun 2030 dapat berkisar antara $17 milyar dan $33 milyar per tahun.
Darimana uang tersebut diperoleh?
Uang dapat secara langsung berasal dari skema pendanaan internasional atau program pemerintah nasional. Sebagian dana sudah tersedia bagi proyek percontohan REDD melalui pasar karbon secara sukarela, namun sebagian besar uang yang akan disalurkan melalui pasar atau dana baru sebagai hasil negosiasi UNFCCC belum akan tersedia dalam beberapa tahun mendatang.  
Sumber :http://www.greenpeace.org

Selasa, 13 Maret 2012

Gas Rumah Kaca dan Pemanasan Global


Sejak dikenalnya ilmu mengenai iklim, para ilmuwan telah mempelajari bahwa ternyata iklim di Bumi selalu berubah. Dari studi tentang jaman es di masa lalu menunjukkan bahwa iklim bisa berubah dengan sendirinya, dan berubah secara radikal. Apa penyebabnya? Meteor jatuh? Variasi panas Matahari? Gunung meletus yang menyebabkan awan asap? Perubahan arah angin akibat perubahan struktur muka Bumi dan arus laut? Atau karena komposisi udara yang berubah? Atau sebab yang lain?
Sampai baru pada abad 19, maka studi mengenai iklim mulai mengetahui tentang kandungan gas yang berada di atmosfer, disebut sebagai gas rumah kaca, yang bisa mempengaruhi iklim di Bumi. Apa itu gas rumah kaca?
Sebetulnya yang dikenal sebagai ‘gas rumah kaca’, adalah suatu efek, dimana molekul-molekul yang ada di atmosfer kita bersifat seperti memberi efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri, seharusnya merupakan efek yang alamiah untuk menjaga temperatur permukaaan Bumi berada pada temperatur normal, sekitar 30°C, atau kalau tidak, maka tentu saja tidak akan ada kehidupan di muka Bumi ini.
Pada sekitar tahun 1820, bapak Fourier menemukan bahwa atmosfer itu sangat bisa diterobos (permeable) oleh cahaya Matahari yang masuk ke permukaan Bumi, tetapi tidak semua cahaya yang dipancarkan ke permukaan Bumi itu bisa dipantulkan keluar, radiasi merah-infra yang seharusnya terpantul terjebak, dengan demikian maka atmosfer Bumi menjebak panas (prinsip rumah kaca).
Tiga puluh tahun kemudian, bapak Tyndall menemukan bahwa tipe-tipe gas yang menjebak panas tersebut terutama adalah karbon-dioksida dan uap air, dan molekul-molekul tersebut yang akhirnya dinamai sebagai gas rumah kaca, seperti yang kita kenal sekarang. Arrhenius kemudian memperlihatkan bahwa jika konsentrasi karbon-dioksida dilipatgandakan, maka peningkatan temperatur permukaan menjadi sangat signifikan.
Semenjak penemuan Fourier, Tyndall dan Arrhenius tersebut, ilmuwan semakin memahami bagaimana gas rumah kaca menyerap radiasi, memungkinkan membuat perhitungan yang lebih baik untuk menghubungkan konsentrasi gas rumah kaca dan peningkatan Temperatur. Jika konsentrasi karbon-dioksida dilipatduakan saja, maka temperatur bisa meningkat sampai 1°C.
Tetapi, atmosfer tidaklah sesederhana model perhitungan tersebut, kenyataannya peningkatan temperatur bisa lebih dari 1°C karena ada faktor-faktor seperti, sebut saja, perubahan jumlah awan, pemantulan panas yang berbeda antara daratan dan lautan, perubahan kandungan uap air di udara, perubahan permukaan Bumi, baik karena pembukaan lahan, perubahan permukaan, atau sebab-sebab yang lain, alami maupun karena perbuatan manusia. Bukti-bukti yang ada menunjukkan, atmosfer yang ada menjadi lebih panas, dengan atmosfer menyimpan lebih banyak uap air, dan menyimpan lebih banyak panas, memperkuat pemanasan dari perhitungan standar.
Sejak tahun 2001, studi-studi mengenai dinamika iklim global menunjukkan bahwa paling tidak, dunia telah mengalami pemanasan lebih dari 3°C semenjak jaman pra-industri, itu saja jika bisa menekan konsentrasi gas rumah kaca supaya stabil pada 430 ppm CO2e (ppm = part per million = per satu juta ekivalen CO2 – yang menyatakan rasio jumlah molekul gas CO2 per satu juta udara kering). Yang pasti, sejak 1900, maka Bumi telah mengalami pemanasan sebesar 0,7°C.
Lalu, jika memang terjadi pemanasan, sebagaimana disebut; yang kemudian dikenal sebagai pemanasan global, (atau dalam istilah populer bahasa Inggris, kita sebut sebagai Global Warming): Apakah merupakan fenomena alam yang tidak terhindarkan? Atau ada suatu sebab yang signfikan, sehingga menjadi ‘populer’ seperti sekarang ini? Apakah karena Al Gore dengan filmnya “An Inconvenient Truth” yang mempopulerkan global warming? Tentunya tidak sesederhana itu.
Perlu kerja-sama internasional untuk bisa mengatakan bahwa memang manusia-lah yang menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global. Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 2007, menunjukkan bahwa secara rata-rata global aktivitas manusia semenjak 1750 menyebabkan adanya pemanasan. Perubahan kelimpahan gas rumah kaca dan aerosol akibat radiasi Matahari dan keseluruhan permukaan Bumi mempengaruhi keseimbangan energi sistem iklim. Dalam besaran yang dinyatakan sebagai Radiative Forcing sebagai alat ukur apakah iklim global menjadi panas atau dingin (warna merah menyatakan nilai positif atau menyebabkan menjadi lebih hangat, dan biru kebalikannya), maka ditemukan bahwa akibat kegiatan manusia-lah (antropogenik) yang menjadi pendorong utama terjadinya pemanasan global (Gb.1).
Hasil perhitungan perkiraan agen pendorong terjadinya pemanasan global dan mekanismenya (kolom satu), berdasarkan pengaruh radiasi (Radiative Forcing), dalam satuan Watt/m^2, untuk sumber antropogenik dan sumber yang lain, tanda merah dan nilai positif dari kolom dua dan tiga berarti sumbangan pada pemanasan, sedangkan biru adalah efek kebalikannya. Kolom empat menyatakan dampak pada skala geografi, sedangkan kolom kelima menyatakan tingkat pemahaman ilmiah (Level of Scientific Understanding), Sumber: Laporan IPCC, 2007.
Dari gambar terlihat bahwa karbon-dioksida adalah penyumbang utama gas kaca. Dari masa pra-industri yang sebesar 280 ppm menjadi 379 ppm pada tahun 2005. Angka ini melebihi angka alamiah dari studi perubahan iklim dari masa lalu (paleoklimatologi), dimana selama 650 ribu tahun hanya terjadi peningkatan dari 180-300 ppm. Terutama dalam dasawarsa terakhir (1995-2005), tercatat peningkatan konsentrasi karbon-dioksida terbesar pertahun (1,9 ppm per tahun), jauh lebih besar dari pengukuran atmosfer pada tahun 1960, (1.4 ppm per tahun), kendati masih terdapat variasi tahun per tahun.
Sumber terutama peningkatan konsentrasi karbon-dioksida adalah penggunaan bahan bakar fosil, ditambah pengaruh perubahan permukaan tanah (pembukaan lahan, penebangan hutan, pembakaran hutan, mencairnya es). Peningkatan konsentrasi metana (CH4), dari 715 ppb (part per billion= satu per milyar) di jaman pra-industri menjadi 1732 ppb di awal 1990-an, dan 1774 pada tahun 2005. Ini melebihi angka yang berubah secara alamiah selama 650 ribu tahun (320 – 790 ppb). Sumber utama peningkatan metana pertanian dan penggunaan bahan bakar fosil. Konsentrasi nitro-oksida (N2O) dari 270 ppb – 319 ppb pada 2005. Seperti juga penyumbang emisi yang lain, sumber utamanya adalah manusia dari agrikultural. Kombinasi ketiga komponen utama tersebut menjadi penyumbang terbesar pada pemanasan global.
Kontribusi antropogenik pada aerosol (sulfat, karbon organik, karbon hitam, nitrat and debu) memberikan efek mendinginkan, tetapi efeknya masih tidak dominan dibanding terjadinya pemanasan, disamping ketidakpastian perhitungan yang masih sangat besar. Demikian juga dengan perubahan ozon troposper akibat proses kimia pembentukan ozon (nitrogen oksida, karbon monoksida dan hidrokarbon) berkontribusi pada pemanasan global. Kemampuan pemantulan cahaya Matahari (albedo), akibat perubahan permukaan Bumi dan deposisi aerosol karbon hitam dari salju, mengakibatkan perubahan yang bervariasi, dari pendinginan sampai pemanasan. Perubahan dari pancaran sinar Matahari (solar irradiance) tidaklah memberi kontribusi yang besar pada pemanasan global.
Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa memang manusia yang berperanan bagi nasibnya sendiri, karena pemanasan global terjadi akibat perbuatan manusia sendiri. Lalu bagaimana dampak Global Warming bagi kehidupan? Alur waktu prediksi dan dampak dari perspektif sains dapat dibaca pada bagian kedua tulisan ini.

Sabtu, 10 Maret 2012

10 Hutan yang Paling Terancam Keberadaannya di Dunia

Sebuah hutan yang terancam adalah salah satu yang memiliki kepentingan ekologis dalam lingkungannya dan sedang terancam oleh industrialisasi atau perambahan manusia. Sebagian besar hutan ini telah menjadi bagian dari lingkungan mereka selama bertahun-tahun dan memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan alam dari sistem eko. Para ilmuwan telah mengklaim bahwa deforestasi telah memainkan peranan penting dalam menyebabkan pemanasan global.

1.Congo Basin Forest



hutan tropis terbesar kedua di dunia adalah Congo Basin Forest dan itu mencakup enam negara di Afrika, Kamerun, Republik Afrika Tengah, Republik Kongo, Republik Demokratik Kongo, Guinea Khatulistiwa dan Gabon. Congo Basin Forest merupakan 70% dari vegetasi benua 'dan berisi lebih dari 600 jenis pohon dan 10.000 spesies hewan. Hutan ini telah mengalami deforestasi tertinggi di dunia sebagai pohon ditebang untuk tujuan komersial dan dibersihkan untuk pertanian. Karena perang sipil dan kerusuhan yang rock wilayah tertentu, banyak orang telah dipaksa untuk mengganggu dan tinggal di hutan.

2. Hutan Mau di Kenya


Hutan asli terbesar di Lembah Rift adalah Hutan Mau di Kenya. Ini mencakup 675.000 hektar dan merupakan air terbesar DAS di negara ini. Banyak sungai mulai mengalir dari Hutan Mau dan pakan banyak danau di daerah seperti Danau Victoria, yang terletak di tiga negara Afrika Timur, Kenya, Uganda dan Tanzania. Mau Hutan telah terancam oleh perambahan manusia sebagai penduduk Kenya terlihat untuk memperoleh lahan lebih, tanah terutama subur untuk pertanian, kegiatan ekonomi yang penting di negeri ini. Pemerintah Kenya telah mengambil langkah untuk melindungi Hutan Kenya Mau dan keluarga banyak yang telah diusir dari daerah tersebut.

3.  Rainforest   Valdivian  Chile


Sepanjang pantai Selatan Chili di Amerika Selatan, terletak Rainforest Valdivian. Organisasi nirlaba, Conservation International peringkat ini sebagai salah satu hutan tropis terbesar di dunia 25 hotspot keanekaragaman hayati. Lebih dari 90% dari tanaman hidup dan lebih dari 70% dari kehidupan hewan di hutan ini tidak dapat ditemukan di tempat lain di dunia. ekonomi Chile telah mendapatkan manfaat besar dari produksi kayu pulp dan kehutanan dari Rainforest Valdivian. Hutan ini telah mengalami deforestasi karena kegiatan ekonomi maupun pembangunan jalan tol melalui itu. Ada rencana oleh kehutanan Chili untuk membersihkan pohon asli dan unik untuk Rainforest Valdivian dan menggantinya dengan pinus dan peternakan pohon eucalyptus.

4. Rainforest di Sumatera Indonesia


Sumatera adalah pulau terbesar yang merupakan bagian dari Indonesia. Hal ini sebenarnya pulau terbesar keenam di dunia. Rainforest Sumatera telah hidup tumbuhan dan hewan yang unik untuk itu dan tidak dapat ditemukan di tempat lain di dunia. Hampir setengah dari Rainforest Sumatera telah hancur sebagai manfaat ekonomi Indonesia dari legal dan ilegal logging dan perkebunan kelapa sawit berkembang. Kerusakan tersebut telah menyebabkan binatang seperti Harimau Sumatera, Orangutan Sumatera dan Rhino Sumatera untuk ditempatkan pada Kritis Spesies terancam punah . Tropical Rainforest Heritage of Sumatra dinyatakan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2004.

5.Tasmania Kelp Hutan


Apakah Anda tahu bahwa laut memiliki hutan hujan bawah tanah? Kelp hutan memiliki rumput laut besar, beberapa tumbuh sampai 80 meter panjangnya. Di Australia, Kelp Hutan of Tasmania adalah pada penurunan berat dengan hanya 5% dari ukuran asli yang tersisa. Hutan-hutan ini merupakan habitat penting bagi organisme laut. Produk yang terbuat dari rumput laut yang digunakan untuk mengentalkan makanan seperti es krim dan jelly. Para ilmuwan mengatakan bahwa penghancuran Hutan Kelp Tasmania disebabkan oleh bencana cuaca seperti El Nino, lebih dari panen rumput laut, peningkatan suhu air laut Tasmania dan penurunan tingkat gizi terlarut.

6.  Hutan Tropis di Papua New Guinea 


Negara Independen Papua Nugini di Samudera Pasifik, tetangga Indonesia dan Australia. Daerah dataran tinggi negara ditutupi dengan hutan hujan tropis, yang lebih dari 70% dari negara. Lebih dari 950 jenis burung dan mamalia, dan lebih dari 20.000 spesies tanaman hutan hujan menyebutnya rumah mereka. Hampir seperempat dari hutan negara itu telah hancur didorong oleh penebangan komersil dan pembukaan lahan untuk proyek-proyek pertanian skala besar, seperti perkebunan kelapa sawit. Papua New Guinea mendorong pemerintah negara kaya untuk mengkompensasi negara untuk melestarikan hutan dalam rangka untuk mengurangi emisi dari deforestasi.

7.Hutan Tropis   di Kolombia  


Negara terbesar keempat di Amerika Selatan adalah Kolombia, rumah bagi hutan hujan tropis kaya yang memiliki salah satu keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Menurut PBB, Kolombia dengan cepat kehilangan tutupan hutan alam akibat penebangan legal dan ilegal, pengembangan pertambangan, energi dan pembersihan pohon untuk kecil dan besar proyek-proyek pertanian skala seperti pertanian kokain ilegal dan perkebunan kelapa sawit. Pemerintah Kolombia telah mengambil tangan-pada pendekatan konservasi dengan berpartisipasi dalam Protokol Kyoto mengenai Perubahan Iklim CDM (Clean Development Mechanism) proyek dimana negara-negara industri mengkompensasi Kolombia untuk konservasi hutan tropis tersebut.

8.  Rainforest di Madagaskar 


Negara kepulauan adalah pulau terbesar keempat di dunia. Madagaskar hutan hujan, hutan kering dan duri rumah hutan 80% dari tanaman dan hewan yang tidak dapat ditemukan di tempat lain di dunia. Tapi sayangnya sembilan puluh persen dari tutupan hutan di Madagaskar telah dicabut, sebagian besar yang terjadi untuk membersihkan lahan untuk pertanian skala kecil dan pertambangan, produksi komersial legal dan ilegal logging dan arang. Pemerintah Madagaskar dengan bantuan dari lembaga seperti USAID dan Uni Eropa bekerja untuk meningkatkan upaya pemeliharaan. Kudeta militer pada tahun 2009 menempatkan penggundulan hutan di semua waktu tinggi tetapi masyarakat setempat juga perlawanan terhadap penebang liar.

9.  Hutan Tropis di Sri Lanka


Sri Lanka adalah sebuah negara pulau di Samudera Hindia dan merupakan hotspot keanekaragaman hayati. Bangsa Sinharaja Rainforest adalah salah satu yang layak terakhir dari jenisnya dan merupakan UNESCO World Natural Heritage Site. Delapan belas persen tutupan hutan alam Sri Lanka telah dihancurkan. Di bawah pemerintahan kolonial Inggris, sebagian besar hutan dibersihkan untuk membuat jalan untuk minum kopi, teh, kina dan perkebunan karet. Perang saudara yang diikuti membawa serta deforestasi lebih. Pasukan pemerintah membersihkan hutan takut bahwa para pemberontak akan bersembunyi di luar sana dan mereka yang mengungsi dari rumah mereka pergi untuk menetap di hutan.

10.  Hutan Tropis di Malaysia


Banyak dari Malaysia medan pegunungan yang tertutup hutan lebat yang termasuk keanekaragaman hayati paling banyak di dunia. Hutan asli dihancurkan untuk membersihkan lahan untuk keperluan pertanian, pertambangan dan penebangan legal dan ilegal. Beberapa beluk jatuhnya deforestasi ini telah banjir, yang telah dibawa turun beberapa pohon lagi di hutan dengan itu. Kebakaran liar juga telah mengambil korban mereka atas hutan. Ia bahkan telah meramalkan bahwa hutan hujan Malaysia akan punah pada tahun 2020. Pemerintah Malaysia membuat upaya untuk membangun kembali ekosistem hutan terutama dengan pembentukan Forest Research Institute Malaysia (FRIM).

Sumber:http://praburakka.blogspot.com/2011/05/10-hutan-yang-paling-terancam.html

Jumat, 09 Maret 2012

Bumi Kita tanggung jawab siapa???

Pada Dasarnya tuhan menciptakan segala sesuatu di muka bumi ini merupakan suatu keseimbangan yg komplek dan tak terpisahkan. Semua punya fungsi dan peran untuk menjaga kelangsungan dan keseimbangan di muka bumi. Tuhan menciptakan air untuk memberi kehidupan bagi makhluk bumi, menciptakan hutan sebagai tempat berlindung sebagian besar keaneka ragaman hayati dan mempertahan kan pasokan Oksigen dan menetralisir Gas Karbon serta menjaga suhu bumi agar tetap stabil.  Tapi sejak perkembangan populasi manusia kian bertambah keseimbang alam mulai mengalami gangguan, alam mulai mengalami degradasi secara besar-besaran. Perambahan Hutan berskala besar dan melebihi keperluan manusia itu sendiri, pembukaan dan pembakaran lahan tanpa memperhatikan konsep keseimbangan, Eksploitasi air tanah yg tidak terkendali dan perkembangan bidang  Industri yg pesat merupakan beberapa penyebab kerusakan alam itu sendiri. Secara perlahan tapi pasti alam mengalami kerusakan parah dimana jika tidak ada upaya secara sungguh-sungguh dan serius akan menjadi malapetaka dan kehancuran alam secara total.


Kepentingan Negara Maju Versus Negara berkembang
Sebagian besar Hutan Hujan Tropis yg merupakan Hutan yg memiliki keaneka ragaman hayati yg komplek  sebagai alat Utama Netralisasi Karbon dan menjaga kestabilan iklim Global terdapat di Negara berkembang, sehingga belum menerapkan aturan dan regulasi secara ketat dan tegas. Kemiskinan masyarakat di sekitar hutan pun ikut memberi andil dalam proses perambahan hutan. Perizinan HPH tanpa kontrol dari pemerintah merupakan upaya legal oleh para cukong besar dan sekala besar dalam perusakan hutan secara permanen tanpa di imbangi dengan upaya Reboisasi dan Rehabilitasi  yg Optimal. Beberapa jenis Folra dan Fauna yg beberapa decade dulu mudah di jumpai sekarang menjadi sesuatu yg langka untuk dijumpai bahkan beberapa di antaranya diperkirakan telah punah. Kebijakan di Negara berkembang umumnya tidak dapat melindungi secara maksimal dari kerusakan alam dan keselamatan Lingkungan hidup.
Sedangkan Negara Maju yg menempatkan  Industri sebagai ujung tombak perekonomian nya seakan tak mau begitu ambil pusing dengan issue lingkungan hidup hal tersebut hal itu terlihat dari beberapa pertemaun dan konferensi yg gagal menyepakati upaya - upaya yg komprehensif dalam menyikapi Global worming dan penyelamatan lingkungan. Disatu sisi Negara maju tidak menginginkan aturan yg ketat untuk membatasi Emisi karbon  tapi menginginkan Negara Berkembang melakukan upaya yg maksimal dalam menekan laju kerusakan hutan, sementara disisi lain Negara berkembang pemilik Hutan menginginkan adanya Dana dari Negara Maju untuk masyarakat sebagai kompensasi moratorium penghentian penebangan hutan sehingga dapat menganti nilai Ekonomis dari Eksploitasi hasil Hutan.



PENYELAMATAN LINGKUNGAN KAPAN DAN SIAPA?
Ketika pemerintah dan pengambil kebijakan tidak dapat diandalkan lagi untuk menyelamatkan lingkungan, maka diperlukan langkah secara nyata dan strategis oleh masyarakat secara lansung. Jika di ibaratkan sebagai tubuh bumi kita telah berada pada keadaan Infeksi serius yg jika tidak segera di obati dan dicegah akan menjadi kangker yg tidak bisa di obati lagi. Suatu saat kita akan menyadari betapa uang tidak dapat digunakan untuk dapat menganti sesuatu yg telah hilang dari alam. Langkah kecil yg kita lakukan hari ini memiliki pengaruh yg besar  bagi kelangsungan Alam dan Lingkungan hari Esok. Langkah tersebut bisa dilakukan dengan memberi pemahaman mengenai lingkungan yg baik pada teman-teman disekitar kita, membiasakan diri berprilaku peduli lingkungan dengan memakai produk ramah lingkungan dan menghindari memakai produk berbahan dasar plastik dan Kayu secara berlebihan, Menghemat pemakaian Energi Listrik  dan  pemakaian BBM kemudian mari membudayakan menanam pohon di sekitar lingkungan kita meskipun Cuma satu pohon saja. Jika hal ini dilakukan oleh semua orang di bumi setidaknya jika tidak mencegah kita dapat sedikit memperlambat proses kerusakan bumi kita. Yg terakhir masih bnyk hal-hal positif yg dapat kita lakukan untuk bumi kita jadi mari lakukan hal-hal apapun yg menurut kita baik untuk menyelamatkan Bumi kita tercinta ini.

Kamis, 08 Maret 2012

Rawa Tripa


Tak banyak orang yg tahu dimana rawa tripa, bahkan bagi orang aceh sekalipun. Selain hanya nama“tripa” saja yg lebih familiar ditelinga meskipun tak mengerti asal-usul makna dibaliknya. Padahal Jika kita cari di mesin pencari semisal google maka akan menampilkan begitu banyak referensi tentang rawa tripa melampui kepopuleran “Nagan Raya” Provinsi aceh sebagai nama kabupaten dimana beradanya Rawa Tripa. Nama Tripa Merupakan sebuah nama kemukiman (mukim:kumpulan beberapa Desa yg dipimpin oleh seorang Imum mukim) yg sekarang telah menjadi salah satu kecamatan Pemekaran Baru di Nagan Raya. Sesuai namanya sebagian besar lahan Rawa tripa berada di Daerah Tripa Nagan Raya dan sebagian nya lagi berada di Kabupaten Aceh Barat Daya.
Rawa tripa merupakan salah satu dari rawa gambut yg masih tersisa di Sumatra dan tiga rawa yg tersisa di Aceh setelah Rawa kluet dan rawa Singkil. Kedua Rawa yg terakhir telah masuk kedalam kawasan hutan lindung. Sedangkan rawa tripa statusnya masih mengambang dan menjadi perdebatan antara pemerintah dan management leuser. Namun demikian hal itu tidak menyurutkan upaya perambahan Ilegal maupun Pembukaan lahan untuk tujuan Perkebunan, baik secara Konvensiona oleh Masyarakat, maupun Secara Modern dalam skala besar oleh Perusahaan-perusahaan yg telah mengantongi HGU dari pemerintah. Tercatat tak kurang dari 5 perusahaanbesar yg telah mengantongi HGU di Rawa Tripa bergerak di bidang perkebunan sawit kini Telah mengeksploitasi dan melakukan pengeringan lahan gambut di Rawa Tripa secara Sistemastis. Dari 61.803 ha luas hutan Tripa, yang tersisa kini hanya 31.410 ha saja.
Rawa Tripa dikenal mempunyai banyak fungsi dan kemampuanya yg besar dalam meyimpan karbon, yaitu sekitar 50 dan 100 juta ton Karbon. Jumlah karbon yg tersimpan di rawa gambut (sekitar 1.300 ton/ha) hampir sepuluh kali lipat lebih besar daripada karbon yg tersimpan diatas permukaan Tanah yaitu sekitar (110 ton/ha) hal ini dikarenakan ketebalan Gambut Rawa Tripa umum nya lebih dari 3 meter.
Rawa juga tempat tinggalnya beberapa Flora dan fauna Langka seperti Orang Hutan, Harimau Sumatera, beruang, Kayu Seumantok (sejenis kayu yg sudah sangat langka), Kayu Ulin serta bermacam tanaman obat yg tak ternilai harganya.
Rawa tripa juga berfungsi sebagai penyimpanan air tawar, sumber mata pencaharian ikan lele, Lokan, madu lebah dan rotan bagi masyarakat sekitar. Selain itu Rawa tripa mempunyai peran sebagai Zona penyangga (Buffer Zone) ketika gelombang Tsunami melanda Aceh.
Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Unsyiah, Prof. Dr. Zainal Abidin, akar dari semua masalah yang ada muncul karena pemahaman yang keliru terhadap peran, fungsi dan manfaat Rawa Tripa. Selama ini ada pandangan jika Rawa Tripa dibiarkan apa adanya seolah rawa itu menjadi sumber daya alam yang tidak berguna. Pandangan seperti itu telah mendorong konversi Rawa Tripa untuk peruntukkan sawit yang “dianggap” lebih bernilai ekonomisIa memberi ilustrasi tentang banjir bandang yang terjadi di Aceh Timur dengan total kerugian 14 kali lipat pendapatan daerah dari sektor kehutanan pada tahun terjadinya bencana tersebut. Itu artinya, akumulasi pendapatan dari sektor kehutanan selama 14 tahun, musnah hanya dalam sehari!!
Hingga kini pemerintah terus memberikan izin konvensi (Alih Fungsi) rawa tripa menjadi perkebunan, hal itu menyebabkan penurunan muka tanah lahan gambut rawa tripa antara 5 sampai dengan 10 cm pertahun.
jika tidak ada upaya yg serius dan Kongkrit oleh semua Element dalam menyelamatkan Rawa tripa dan pemukiman sekitarnya yg terletak di bibir Samudera Hindia, Penurunan terus menerus muka tanah di rawa tripa tersebut dapat menyebabkan tenggelamnya Daerah tersebut ke dalam Laut paling lambat diperkirakan sekitar tahun 2025. Jika itu terjadi kita hanya akan menemukan nama “Rawa Tripa” dalam Literatur sejarah yg akan di baca oleh anak cucu kita, seperti halnya kita cuma bisa mendengar nama Spesies Harimau Jawa dan Harimau Bali yg telah Punah.

Cuma 43 Juta Ha Hutan Indonesia yang Perawan

 Cuma 43 Juta Ha Hutan Indonesia yang Perawan

Total kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia mencapai 1,08 juta hektare per tahun

              
Selain Sumatera, hutan Kalimantan memiliki laju kerusakan yang besar dari total kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia yakni sebesar 1,08 juta hektar per tahun. (zunal.com)

VIVAnews - Sebanyak 1.000 anak memeriahkan kegiatan parade cinta pohon bersama Kementerian Kehutanan, Pemprov DKI Jakarta, dan pihak swasta.

Dalam kesempatan ini, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan, ketidakpahaman anak-anak akan pentingnya hutan bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang bisa menyebabkan terjadinya kerusakan hutan yang ada saat ini.

"Apakah kita ingin Indonesia menjadi tandus seperti beberapa negara di Afrika dengan tidak adanya hutan yang bisa menampung air?" kata Zulkifli saat membuka Festreeval Parade Cinta Pohon di halaman Balaikota DKI Jakarta, Minggu 27 November 2011.

Data Kementerian Kehutanan menyebutkan, selain Sumatera, hutan Kalimantan memiliki laju kerusakan yang besar dari total kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia yakni sebesar 1,08 juta hektare per tahun.

"Memang saya kategorikan hutan Indonesia dalam keadaan kritis, karena puluhan tahun menjadi andalan untuk pendapatan bagi negara. Dari 130 juta hektare, hanya 43 juta di antaranya yang masuk dalam kategori hutan perawan," jelasnya.

Menurut Zulkifli, puncak kerusakan hutan itu mulai terjadi sekitar 1999-2002, disebabkan oleh pembalakan liar, kebakaran hutan, dan juga pemekaran wilayah.

"Pertama tentu karena perambahan kawasan hutan tanpa izin menjadi kebun kelapa sawit, menjadi pertanian, dan pertambangan gelap," ujar Zulkifli. Kemudian, dia melanjutkan, yang kedua, akibat penebangan liar, dan ketiga karena kebakaran hutan terkait dengan budaya lokal. “Tiga hal inilah yang mempercepat kerusakan hutan,” tutur Zulkifli. (art)

 

Selamatkan Hutan Selamatkan Indonesia

Di seluruh dunia, hutan-hutan alami sedang dalam krisis. Tumbuhan dan binatang yang hidup didalamnya terancam punah. Dan banyak manusia dan kebudayaan yang menggantungkan hidupnya dari hutan juga sedang terancam. Tapi tidak semuanya merupakan kabar buruk. Masih ada harapan untuk menyelamatkan hutan-hutan ini dan menyelamatkan mereka yang hidup dari hutan.Hutan purba dunia sangat beragam. Hutan-hutan ini meliputi hutan boreal-jenis hutan pinus yang ada di Amerika Utara, hutan hujan tropis, hutan sub tropis dan hutan magrove. Bersama, mereka menjaga sistem lingkungan yang penting bagi kehidupan di bumi. Mereka mempengaruhi cuaca dengan mengontrol curah hujan dan penguapan air dari tanah. Mereka membantu menstabilkan iklim dunia dengan menyimpan karbon dalam jumlah besar yang jika tidak tersimpan akan berkontribusi pada perubahan iklim.
Hutan-hutan purba ini adalah rumah bagi jutaan orang rimba yang untuk bertahan hidup bergantung dari hutan-baik secara fisik maupun spiritual.
Hutan-hutan ini juga merupakan rumah bagi duapertiga dari spesies tanaman dan binatang di dunia. Yang berarti ratusan ribu tanaman dan pohon yang berbeda jenis dan jutaan serangga-masa depan mereka juga tergantung pada hutan-hutan purba.
Hutan-hutan purba yang menakjubkan ini berada dalam ancaman. Di Brazil saja, lebih dari 87 kebudayaan manusia telah hilang; pada 10 hingga 20 tahun kedepan dunia nampaknya akan kehilangan ribuan spesies tanaman dan binatang. Tapi ada kesempatan terakhir untuk menyelamatkan hutan-hutan ini dan orang-orang serta spesies yang tergantung padanya

Potret Buram Hutan Indonesia

Terdapat keyakinan, dahulu nyaris seluruh daratan Indonesia ditumbuhi hutan. Pada 2003, luas hutan di seluruh Indonesia menyusut sampai 101,73 juta hektar.
1.http://fwi.or.id/publikasi/potret.htm
Hutan-hutan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia, meskipun luas daratannya hanya 1,3 persen dari luas daratan di permukaan bumi. Kekayaan hayatinya mencapai 11 persen spesies tumbuhan yang terdapat di permukaan bumi. Selain itu, terdapat 10 persen spesies mamalia dari total binatang mamalia bumi, dan 16 persen spesies burung di dunia.1
Sejatinya, seberapa luas hutan di Indonesia? Dinas Kehutanan Indonesia pada 1950 pernah merilis peta vegetasi. Peta yang memberikan informasi lugas, bahwa, dulunya sekitar 84 persen luas daratan Indonesia (162.290.000 hektar) pada masa itu, tertutup hutan primer dan sekunder, termasuk seluruh tipe perkebunan.
Peta vegetasi 1950 juga menyebutkan luas hutan per pulau secara berturut-turut, Kalimantan memiliki areal hutan seluas 51.400.000 hektar, Irian Jaya seluas 40.700.000 hektar, Sumatera seluas 37.370.000 hektar, Sulawesi seluas 17.050.000 hektar, Maluku seluas 7.300.000 hektar, Jawa seluas 5.070.000 hektar dan terakhir Bali dan Nusa Tenggara Barat/Timur seluas 3.400.000 hektar.
2. Data ini ditulis oleh Bayu Dwi Mardana yang dimuat dalam http://www.inform.or.id/
Menurut catatan pada masa pendudukan Belanda, pada 1939 perkebunan skala besar yang dieksploitasi luasnya mencapai 2,5 juta hektar dan hanya 1,2 juta hektar yang ditanami. Sektor ini mengalami stagnasi sepanjang tahun 1940-an hingga 1950-an. Tahun 1969, luas perkebunan skala kecil hanya mencapai 4,6 juta hektar. Sebagaian besar lahan hutan itu berubah menjadi perkebunan atau persawahan sekitar 1950-an dan 1960-an. Alasan utama pembukaan hutan yang terjadi adalah untuk kepentingan pertanian, terutama untuk budidaya padi.2
Memasuki era 1970-an, hutan Indonesia menginjak babak baru. Di masa era ini, deforestrasi (menghilangnya lahan hutan) mulai menjadi masalah serius. Industri perkayuan memang sedang tumbuh. Pohon bagaikan emas coklat yang menggiurkan keuntungannya. Lalu penebangan hutan secara komersial mulai dibuka besar-besaran. Saat itu terdapat konsesi pembalakan hutan (illegal logging), yang awalnya bertujuan untuk mengembangkan sistem produksi kayu untuk kepentingan masa depan. Pada akhirnya langkah ini terus melaju menuju degradasi hutan yang serius. Kondisi ini juga diikuti oleh pembukaan lahan dan konversi menjadi bentuk pemakaian lahan lainnya.
Hasil survei yang dilakukan pemerintah menyebutkan bahwa tutupan hutan pada tahun 1985 mencapai 119 juta hektar. bila dibandingkan dengan luas hutan tahun 1950 maka terjadi penurunan sebesar 27 persen. Antara 1970-an dan 1990-an, laju deforestrasi diperkirakan antara 0,6 dan 1,2 juta hektar.
Namun angka-angka itu segera diralat, ketika pemerintah dan Bank Dunia pada 1999, bekerjasama melakukan pemetaan ulang pada areal tutupan hutan. Menurut survei 1999 itu, laju deforestrasi rata-rata dari tahun 1985–1997 mencapai 1,7 juta hektar. Selama periode tersebut, Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan mengalami deforestrasi terbesar. Secara keseluruhan daerah-daerah ini kehilangan lebih dari 20 persen tutupan hutannya. Para ahli pun sepakat, bila kondisinya masih begitu terus, hutan dataran rendah non rawa akan lenyap dari Sumatera pada 2005 dan di Kalimantan setelah 2010.
Pada akhirnya ditarik suatu kesimpulan yang mengejutkan. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen (Sumber: World Resource Institute, 1997).
3.http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/hut_punah/
Pada periode 1997–2000, ditemukan fakta baru bahwa penyusutan hutan meningkat menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Dua kali lebih cepat ketimbang tahun 1980. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, di antaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan (Badan Planologi Dephut, 2003).3 Dan menciptakan potret keadaan hutan Indonesia dari sisi ekologi, ekonomi, dan sosial ternyata semakin buram.
Forest Watch Indonesia bersama Global Forest Watch menyajikan laporan penilaian komprehensif yang pertama mengenai keadaan hutan Indonesia. Laporan ini menyimpulkan bahwa laju deforestasi yang meningkat dua kali lipat utamanya disebabkan suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Ketidakstabilan politik yang mengikuti krisis ekonomi pada 1997 dan yang akhirnya me-lengser-kan Presiden Soeharto pada 1998, menyebabkan deforestasi semakin bertambah sampai tingkatan yang terjadi pada saat ini.
Pengelolaan hutan yang buruk dimulai semenjak Soeharto berkuasa. Konsesi Hak Pengusahaan Hutan yang mencakup lebih dari setengah luas total hutan Indonesia, oleh mantan Presiden Soeharto sebagian besar di antaranya diberikan kepada sanak saudara dan para pendukung politiknya. Kroniisme di sektor kehutanan membuat para pengusaha kehutanan bebas beroperasi tanpa memperhatikan kelestarian produksi jangka panjang.
Ekspansi besar-besaran dalam industri kayu lapis dan industri pulp dan kertas selama 20 tahun terakhir menyebabkan permintaan terhadap bahan baku kayu pada saat ini jauh melebihi pasokan legal. Kesenjangannya mencapai 40 juta meter kubik setiap tahun. Banyak industri pengolahan kayu yang mengakui ketergantungan mereka pada kayu curian, jumlahnya mencapai 65 persen dari pasokan total pada 2000.
Korupsi dan anarki atau ketiadaan hukum semakin berkembang menjadi faktor utama meningkatnya pembalakan ilegal dan penggundulan hutan. Pencurian kayu bahkan marak terjadi di kawasan konservasi, misalnya di Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah dan di Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara dan Aceh.
Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan sistem konversi hutan menjadi perkebunan menyebabkan deforestasi bertambah luas. Banyak pengusaha mengajukan permohonan izin pembangunan HTI dan perkebunan hanya sebagai dalih untuk mendapatkan keuntungan besar dari Izin Pemanfaatan Kayu (kayu IPK) pada areal hutan alam yang dikonversi. Setelah itu mereka tidak melakukan penanaman kembali, yang menyebabkan jutaan hektar lahan menjadi terlantar. Disamping itu, beberapa perusahaan perkebunan dan HTI sering melakukan pembakaran untuk pembersihan lahan, yang merupakan sumber utama bencana kebakaran hutan di Indonesia.
Pembakaran hutan merupakan salah satu ancaman serius terhadap kerusakan hutan Indonesia. Namun demikian, sampai saat ini belum banyak tindakan hukum yang telah diambil oleh pemerintah terhadap para pembakar hutan, meskipun sudah ada peraturan perundangan tentang larangan pembakaran hutan, di antaranya PP No. 4 Tahun 2001.